Berikut ini merupakan pembahasan kunci jawaban Buku Fikih untuk Kelas 12 halaman 92 Pembahasan kali ini kita akan bahas latihan yang ada pada buku paket Fiqih Uji Kompetensi Bab 4 Halaman 92 Buku siswa untuk Semester 1 (Ganjil) Kelas XII MA. Semoga dengan adanya pembahasan kunci jawaban Pilihan Ganda (PG) dan juga Esaay Bab 4 HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIANNYA. ini, kalian bisa menjadi lebih giat untuk belajar. Kunci jawaban ini diperuntukkan untuk para pelajar yang sedang mengerjakan tugas Kurikulum 2013 (K13). Kunci Jawaban Uji Kompetensi Bab 4 Hal 92 Fiqih Kls 12
Kunci Jawaban Fikih Kelas 12 Halaman 92 Uji Kompetensi Bab 4 |
Kunci Jawaban Fikih Kelas 12 Halaman 92 Uji Kompetensi Bab 4
Uji Kompetensi 4 Halaman 92
B. Esai, Jawablah pertanyaan-pertanyaan dengan tepat!
1. Siapakah al-hakim itu ?
2. Mengapa tidak semua orang dapat menerima beban hukum ? Jelaskan !
3. Klasifikasikan hukum syar’i berdasarkan syari’at Islam !
4. Jelaskan perbedaan mukallaf dengan bukan mukallaf !
5. Jelaskan perbedaan hukum taklifi dan hukum wadh’i !
6. Jelaskan perbedaan azimah dan rukhshah !
7. Jelaskan perbedaan sebab dan mani’ !
8. Jelaskan perbedaan mahkum fih dengan mahkum ‘alaih
9. Jelaskan perbedaan ahliyatul wujub dengan ahliyatul ada’ !
10. Bandingkan ‘awarid ahliyah yang bersifat samawiyah dengan ‘awarid ahliyah yang bersifat kasabiyah !
Kunci Jawaban :
1. Luqman al-Hakim adalah orang yang disebut dalam Al Qur'an surat Luqman [31]:12-19 yang terkenal karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya
2. "قصد الشارع في وضع الشريعة للتكليف بمقتضاها"
“Tujuan Syari’ (Allah) dalam menurunkan aturan syariatnya agar dapat dilakukan sebagaimana mestinya.”[4]
Beradasrkan syarat-syarat taklif di atas pula, kemudian para ulama Ushul Fiqih merumuskan kriteria mukallaf yang dibebani aturan syariat. Sebab jika aturan tersebut diturunkan untuk dapat dilakukan maka hal ini menuntut adanya sebuah kemampuan dan kelayakan yang ada pada manusia yang dituntut untuk melakukannya.
Dalam hal ini, maka kelayakan manusia untuk melakukan aturan syariat berkisar pada dua prasyarat yang ada pada manusia:
Pertama: pengetahuan manusia atas aturan-aturan tersebut secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui orang-orang yang telah dilegitimasi oleh Allah swt untuk menyampaikan dan menjelaskan aturan-aturan-Nya. Dalam hal ini akal manusia memainkan perannya, sebab dengan akal-lah manusia dapat mengetahui dan memahami aturan Allah. Oleh sebab itu, maka manusia yang telah kehilangan akalnya (gila) tidalkah dikatagorikan sebagai mukallaf.
Kedua: manusia memiliki kelayakan (ahliyyah) untuk melakukan aturan yang dibebankan kepadanya.
Terkait ahliyyah yang ada pada manusia, para ushuliyyun mengklasifikasikan kelayakan (ahliyyah) manusia untuk menerima dan melakukan beban syariat menjadi dua; Ahliyyah Wujub dan Ahliyyah Ada’:[5]
Pertama: Ahliyyah Wujub; yaitu kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan kepadanya hak dan kewajiban. Ahliyyah inilah sesungguhnya yang membedakan manusia dan hewan. Para fuqaha menyebutnya dengan istilah zimmah, yaitu suatu naluri manusia untuk menerima hak dari orang lain dan menjalankan kewajiban dirinya untuk orang lain.[6] Ahliyyah wujub ini meliputi seluruh manusia tanpa memandang perbedaan jenis, umur, mempunyai akal atau tidak, sehat atau sakit. Dalam arti sejak penciptannya, kelayakan ini telah melekat pada setiap manusia. Di mana hal-hal yang terkait dengan hak atau kewajibannya akan senantiasa melekat pada diri manusia. Selanjutnya Ahliyah wujub ini diklasifikasikan menjadi dua:[7]
3. Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum Taklifi (thalaban wa takhyiran) dan Wadh’i.
4. Mukalaf menurut kaidah ushul fiqh adalah orang yang mampu bertindak secara hukum, baik dalam kaitannya dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Semua perbuatan hukum seorang mukalaf harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan mumayiz sebenarnya sangat erat kaitannya dengan mukalaf. Bisa dikatakan orang yang mumayiz adalah orang yang mukalaf. Mumayiz adalah kondisi anak kecil yang telah mencapai pubertas.
sedangkan Mujtahid Muntasib adalah Mujtahid yang memiliki kemampuan untuk menerapkan kaidah-kaidah, menggali hukum dan memilah ushul-furu’ (asal dan cabang), namun belum bisa merumuskan metode ijtihad sendiri. Mereka masih berada dan mengikuti pedoman metode dari para Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil.
Nama-nama yang masuk dalam tingkatan ini semisal Abu Yusuf dan Zafr bin al-Hudzail dari Madzhab Hanafi; Abu al-Qasim dan Asyhab dari Madzhab Maliki; Abu Ya’qub al-Buwaythi dari Madzhab Syafi’I; al-Khiraqi dan Abu Bakr al-Khalal dari Madzhab Hanbali.
5. hukum taklifi: hukum yg berkaitan dg perbuatan orang mukallaf baik bersifat tuntutan(wajib, haram, sunnah, makruh, dan khilaful aula) atau bersifat pilihan (mubah). contoh: sholat bagi orang mukallaf hukumnya wajib
hukum wad'i: hukum yg diposisikan oleh syara sebagai sebab, syarat, mani, shohih dan fasid.
contoh: dirikanlah sholat sesudah tergelincirnya matahari
6. ‘Azimah
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :
مَا شُرَ عَ مِنَ اْﻷَ حْكَمِ الْكُلِّيَّةِ إِبْتِدَاءً
“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum”
Rukhshah menurut para ulama ushul fiqh ialah :
اَلْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”
7. 1) Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis, artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang kepada tujuan.
2) Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:
“ Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya”.
8. Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan dengan hukum dari syari'.
9. ahliyatul wujub adalah Kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi ia belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negatif. Bila ia mengerjakan perintah syara’, maka ia berpahala dan jika ia melaksanakan larangan, maka ia berdosa. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyatul ada’ ialah aqil, baligh dan cerdas
10. 1) Awaridl al-Samawiyah.
Awaridl al-samawiyah maksudnya adalah halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan lupa.
2) Awaridl al-Mukhtasabah.
Awaridl al-mukhtasabah adalah halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.