Berikut ini merupakan pembahasan kunci jawaban Buku Bahasa Indonesia untuk Kelas 11 halaman 214. Pembahasan kali ini kita akan bahas latihan yang ada pada buku paket B. Indo Tugas Halaman 214-215, Buku siswa untuk semester 2 Kelas 9 SMP/MTS. Semoga dengan adanya pembahasan kunci jawaban Pilihan Ganda (PG) dan juga Esaay Bab 7 Menilai Karya Melalui Resensi Kelas 11 ini, kalian bisa menjadi lebih giat untuk belajar. Kunci jawaban ini diperuntukkan untuk para pelajar yang sedang mengerjakan tugas Kurikulum 2013 (K13). Kunci Jawaban Hal 214 Bahasa Indonesia Kls 11
Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 214 [Kunci Jawaban] |
Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 214 [Kunci Jawaban]
Tugas
1. a. Bacalah kembali contoh teks resensi di atas dengan baik!
b. Secara berkelompok, identifikasilah resensi tersebut berdasarkan
aspek-aspek berikut!
1) identitas buku,
2) ringkasan isi buku,
3) keunggulan buku,
4) kelemahan buku, dan
5) rekomendasi.
c. Selain aspek-aspek tersebut, adakah aspek lain yang dibahas dalam
resensi tersebut? Jelaskan!
2. a. Cermatilah contoh resensi lainnya, untuk buku nonfiksi!
b. Cermati unsur-unsur yang ada pada resensi tersebut!
c. Tuliskanlah hasil penilaian kamu pada teks tersebut!
d. Gunakanlah rubrik seperti di bawah ini!
Kunci Jawaban
Nomor 1
a. dibaca ulang bacaan Petualangan Bocah di Zaman Jepang
b. 1.) Identitas buku
Judul buku : Saksi Mata
Pengarang : Suparto Brata
Penerbit: Kompas
Tebal: x + 434 halaman
2) ringkasan isi buku,
Tokoh utama dalam novel ini adalah bocah laki-laki berusia dua belas tahun bernama Kuntara, yaitu seorang pelajar sekolah rakyat Mohangakko dan mengambil latar Kota Surabaya pada zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail, dan sangat memikat. Novel setebal 434 halaman ini sebenarnya merupakan cerita bersambung yang dimuat di halaman Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 hingga 2 April 1998. Kisah berawal dari Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah bertemu dengan Wiradad di sebuah bunker belakang. Baru diketahui Kuntara kalau Wiradad adalah suami sah dari Bulik Rum. Semantara itu, Bulik Rum adalah “wanita simpanan” tuan Ichiro Nishizumi, meski pekerjaan sehari-harinya bekerja di pabrik karung. Sebenarnya, Bulik Rum sudah menikah dengan Wiradad tetapi tuan Ichiro Nishizumi tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya.
3) keunggulan buku,
Novel ini menyajikan cerita sejarah pada masa penjajahan zaman Jepang di Indonesia. Salah satu sejarah yang perlu diketahui oleh para pembaca.
4) kelemahan buku,
Novel ini tidak cocok untuk kalangan remaja bahkan untuk anak-anak. Lebih cocok untuk dewasa.
5) rekomendasi.
Membaca novel ini akan mengingatkan kembali pada peristiwa penjajahan zaman Jepang di Indonesia tepatnya di Kota Surabaya. Kosakata dan lagu-lagu Jepang yang disajikan menambah hidup suasana zaman pendudukan Jepang saat di Indonesia.
c. tidak ada
Nomor 2
Pada jawaban ini, peserta didik mencermati unsur-unsur resensi jenis buku lain yaitu nonfiksi. Pengerjaannya bisa berdasarkan format tabel yang ada disertai dengan penilaian. Aspek yang dinilai yaitu kelengkapan, ketepatan, kejelasan, keefektifan kalimat, kebakuan ejaan/tanda baca.
Rekomendasi Bacaan resensi
Beragam tema, beragam kisah terangkum di kumpulan cerita pendek Cerita Cinta Indonesia ini. Mulai dari jejak sastra hingga cerita pendek teenlit tergores dalam 45 cerpen buah karya 45 penulis yang pasti sudah Anda kenal. Membaca kumpulan cerita pendek ini seakan-akan memilih beraneka rasa dan rupa dalam sajian paket lengkap. Sebabnya, ada begitu terlalu banyak kisah kehidupan yang menunggu untuk dinikmati para pembacanya. Ada kisah cinta, misteri, persahabatan, dan beragam tema lainnya, yang ditampilkan secara serius dan populer.
Buku ini memang menawarkan tema dan rasa yang berbeda-beda. “Nasihat Nenek” karya Clara Ng dan “Asylum” karya Lexie Xu merupakan cerpen yang mengundang rasa mencekam. Atmoster horornya sangat terasa. Pada deretan galau maker ada “Rindu yang Terlalu” karya Arswendo Atmowiloto, “Gerimis yang Ganjil “ oleh Budi Maryono, “Rindu” oleh Dewi Kharisma Michellia, “Hachiko” dan “Luka yang Setia” oleh Eka Kurniawan, “Muse” oleh Ika Natassa dan “Gadis dan Pohon Jambu” oleh M. Aan Mansyur. Beberapa penulis terkenal sebagai penulis teenlit juga tampil di buku ini, seperti “Tabula Rasa” oleh Debbie Wijaja, “Savana” oleh Dyan Nuranindya, “Gelas di Pinggir Meja” oleh Ken Terate, “SMS” oleh Luna Torashyngu, dan “Letting Go” oleh RisTee.
Ada pula cerpen-cerpen menarik lain dan memukau. “Dua Garis” oleh Jessica Huawae bisa membuat rasa muak pembacanya. Bukan muak karena kualitas cerpennya. Akan tetapi, hal itu disebabkan oleh temanya yang memang merupakan kenyataan sebenarnya. “Persepsi” oleh Maggie Tiojakin yang bermain-main dengan persepsi pembacanya. “Apalah Artinya Nama” oleh Marga T. bisa membuat para pembaca penasaran: berapa persentase kebenaran di cerpen tersebut. Terakhir ada “Bahagia Bersyarat” oleh Okky Madasari bisa membuat pembaca bertanya-tanya, “Apa arti sesungguhnya dari kata bahagia itu; benarkah kita sudah merasa bahagia di kehidupan sekarang?”
Selain itu, bukan berarti cerpen-cerpen yang tidak disebutkan itu jelek, ya. Tulisan ini bisa terlalu panjang jika harus diulas satu per satu. Lebih baik pembaca sendiri yang membuktikannya. Saya sendiri merasa puas setelah membacanya. Bahkan, para penulis yang sebelumnya kurang saya sukai, mampu membuat saya menikmati cerita yang mereka tuturkan itu.
Bacaan pada soal halaman 214 bahasa indonesia kelas XI Revisi 2017
Petualangan Bocah di Zaman Jepang
resensi novel saksi mata
Judul Novel : Saksi Mata
Pengarang : Suparto Brata
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tebal : x + 434 halaman
Setelah membaca novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado. Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya adalah bocah laki-laki berusia sepuluh tahun, sedangkan dalam novel Ca Bau Kanyang telah diangkat ke layar lebar, digambarkan bagaimana keadaan Jakarta Kota era zaman penjajahan Belanda dengan sangat detail. Lalu apa hubungannya dengan novel Saksi Mata karya Suparto Brata ini?
Dalam Saksi Mata, yang menjadi “jagoan” alias tokoh utamanya adalah bocah berusia dua belas tahun bernama Kuntara, seorang pelajar sekolah rakyat Mohan-gakko dan mengambil latar Kota Surabaya pada zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail dan sangat memikat. Novel setebal 434 halaman ini sendiri sebenarnya merupakan cerita bersambung yang dimuat di Harian Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 hingga 2 April 1998.
Kisah berawal saat Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah berduaan dengan Wiradad di sebuah bungker perlindungan-belakangan baru diketahui oleh Kuntara kalau Wiradad adalah suami sah dari Bulik Rum. Hal itu membuat perasaan hatinya berkecamuk. Kuntara pun heran dengan apa yang dilakukan oleh Bulik Rum yang selama ini selalu dihormatinya. Namun ia bisa mengerti kalau ternyata Bulik Rum yang cantik ini menyembunyikan sejuta kisah yang tak bakal disangka-sangka.
Bulik Rum adalah “pegawai” tuan Ichiro Nishizumi, meski pekerjaan sehari-harinya bekerja di pabrik karung Asko. Sebenarnya Bulik Rum sudah menikah dengan Wiradad tetapi tuan Ichiro Nishizumi tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya. Baik Wiradad maupun ayah Bulik Rum sendiri tidak mampu mencegah keinginan Ichiro Nishizawa yang sangat berkuasa ini. Akan tetapi, Wiradad tidak mau menyerah begitu saja dan segera menyusul Bulik Rum ke Surabaya.
Saat Wiradad akan bertemu dengan Bulik Rum inilah terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Okada yang gelap mata ini segera mengambil samurai kecilnya hingga akhirnya Bulik Rum menghembuskan nafas terakhir di bungker perlindungan. Okada yang selama ini sangat dihormati oleh Kuntara tenyata memiliki tabiat tidak beda dengan Tuan Ichiro Nishizawa.
Dari sinilah awal kisah “petualangan” Kuntara dalam mengungkap kasus hilangnya Bulik Rum hingga upaya untuk membalas dendamnya bersama dengan Wiradad kepada tuan Ichiro Nishizawa dan juga Okada. Sejak kasus hilangnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan–tempat Kuntara dan ibunya menetap–mulai terlibat dengan berbagai kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya. Dengan segala “kecerdikan” ala detektif cilik Lima Sekawan Kuntara berupaya menyelesaikan kasus ini bersama dengan Wiradad.
***
Sangat jarang sekali novel-novel “serius” di Indonesia yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir yang menggunakan tokoh utama seorang anak kecil, selain dari novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira ANM, mungkin hanya novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang menarik apabila membaca cerita sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil karena ia memiliki perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang baru berusia dua belas tahun menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi dengan diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya pada masa penjajahan Jepang dan dengan “kepintarannya” ia mencoba untuk memecahkan persoalan tersebut. Meski menarik tetap saja akan memunculkan pertanyaan bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi “sangat pintar”?
Keunggulan lain dari novel ini adalah penggambaran suasana yang detail mengenai Kota Surabaya pada tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga “direkam” dengan indah oleh Suparto Brata. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau” Hindia Belanda karena nama-nama jalannya masih menggunakan nama-nama Belanda. Juga tentang bungker-bungker–perlindungan yang digunakan untuk bersembunyi kala ada serangan udara–kebetulan saat itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga tentang stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.
Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini, Suparto Brata jelas tidak mengalami kesulitan untuk melukiskan keadaan ini. Apalagi ia adalah penulis yang hidup dalam tiga zaman, kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan era kemerdekaan. Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada cerita yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele.
Novel ini juga diperkaya dengan adanya kosakata dan lagu-lagu Jepang yang makin menghidupkan suasana zaman pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Namun, uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Jadi, bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, seperti saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.
*** Berdasarkan objek karyanya, resensi terdiri atas bermacam-macam jenis. Seperti yang terdapat di dalam contoh di atas, ada resensi untuk novel; ada pula yang berupa kumpulan cerpen. Berdasarkan objek tanggapannya, ada pula yang berupa film, drama, lagu, buku ilmu pengetahuan, lukisan, dan karya-karya lainnya.
Dengan perbedaan-perbedaan objek karya itu, informasi yang kita dapat pun akan bermacam-macam pula. Misalnya, dari resensi novel atau kumpulan cerpen, informasi yang kita dapatkan adalah tentang alur, penokohan, latar, dan hal-hal lainnya yang terdapat di dalam buku-buku cerita itu. Berbeda halnya apabila resensi itu tentang buku populer, informasi yang kita dapatkan berupa sejumlah ilmu pengetahuan yang dapat memperluas wawasan kita tentang topik yang dibahas oleh buku itu.